SELAMAT DATANG DI BLOG BOCAH NDALAN

Blog ini berisi tentang pendidikan agama islam yang diasuh oleh ustad ahmad Sa'ad.

Senin, 31 Januari 2011

Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (4): Babi, Bangkai dan Su’ru

Babi
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai najis dan haramnya daging babi, lemaknya dan seluruh anggota tubuhnya. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/28)

Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syari’at. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا دبغ الإهاب فقد طهر
“Jika kulit bangkai telah disamak, berarti dia telah suci.” (Shahih, riwayat Muslim (no. 366), Abu Dawud dalam ‘Aunul Ma’bud (XI/181 no. 4105))
Dan riwayat di atas sekaligus menjadi dalil untuk mensucikan kulit bangkai binatang supaya dapat dimanfaatkan.
Adapun bangkai yang tidak dihukumi najis, yaitu:
- Bangkai ikan dan belalang.
Keduanya suci berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أحلت لنا ميتتا ودمان أما الميتتان فالحوت والجراد, وأما الـدمان فالكبد والطحال
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (I/97), Ibnu Majah (no. 3218 dan 3314), ad-Daruquthni (no. 4687), al-Baihaqi (I/54). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 210))
- Bangkai yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat, lebah, semut, kutu, dan sejenisnya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا وقع الذباب في إناء أحدكم فليغمسه كله ثم ليطر حه فأن في أحدجنا حيه داء وفي الأخرسفاء
“Jika lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang di antara kalian, maka tenggelamkanlah semuanya ke dalam air, kemudian buanglah. Karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat penawarnya.” (Shahih, riwayat Bukhari dalam Fat-hul Baari (X/250 no. 57/82), Ibnu Majah (II/1159 no. 3505). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 837))
- Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya dan bulunya.
Pada dasarnya semuanya adalah suci. Imam Bukhari telah mencantumkan dalam kitab Shahiih-nya (I/342), “az-Zuhri berkata tentang tulang pada bangkai, seperti tulang pada bangkai gajah dan yang lainnya, ‘Aku telah mendapati sejumlah ulama’ salaf memakai sisir yang terbuat dari tulang bangkai dan memakai minyak yang terdapat padanya (untuk rambut), dan mereka tidak menganggap apa-apa.’” (Al-Wajiz, hal. 60-62; Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/29; Fiqhus Sunnah, I/42-43)
Su’ru (Sisa Air yang Diminum) Binatang Buas dan Binatang Lain yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan
As-Su’ru maknanya adalah sisa air yang ada pada suatu wadah setelah diminum. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/30)
Dalil yang dijadikan landasan bagi najisnya sisa air ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث
“Jika air itu mencapai dua qullah*, maka ia tidak akan terkotori.” (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 63), Tirmidzi (no. 67) dan an-Nasa’i (I/46). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 758))
*Dua qullah setara dengan kurang lebih 270 liter.
Menurut sekelompok fuqaha (ahli fiqh), jika najis jatuh di air yang banyaknya dua qullah maka air itu tetap dikatakan suci, selama salah satu sifatnya tidak berubah. Tapi, jika najis jatuh di air yang ukurannya kurang dari dua qullah maka air tersebut menjadi najis, meski salah satu sifatnya tidak berubah. (Ensiklopedi Tarjih, hal. 48)
Jadi, hadits qullatain di atas adalah persyaratan tentang ukuran air yang dinilai suci. Sehingga apabila binatang buas dan binatang lain yang dagingnya tidak boleh dimakan minum di tempat yang airnya berukuran dua qullah atau lebih, maka airnya tetap suci.
Adapun kucing, maka air sisa minumnya adalah suci, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنها ليست بنجس إنها من الطوا فين عليكم والطوافات
“Kucing itu bukanlah najis, ia hanyalah hewan jantan dan betina yang biasa berkeliaran di tengah-tengah kalian.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (V/303). Lihat Irwaa-ul Ghalil (no. 173))
Itulah beberapa macam najis dan cara pembersihannya, yang telah disebutkan dalam dalil. Adapun sebagian ulama menyebutkan hal-hal najis lainnya dalam kitab-kitab fiqih selain dari yang telah disebutkan, seperti muntah, nanah, khamr, dan yang lainnya. Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa semua itu najis. Sedangkan hukum asal dari sesuatu adalah suci selama tidak ada dalil shahih yang menetapkan kenajisannya. Sehingga, kita menetapkan bahwa semuanya adalah suci. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/30)
Jika seorang muslim ragu mengenai kenajisan air, pakaian, tempat shalat, benda, atau yang lainnya, semuanya itu tetap dinilai suci. Demikian pula apabila kita meyakini kesucian sesuatu hal, kemudian kita merasa ragu apakah hal tersebut najis atau tidak, maka hukum yang berlaku adalah kesucian yang kita yakini. Demikian pula apabila kita meyakini kenajisan sesuatu hal, kemudian kita lupa untuk menyucikannya, apakah sudah disucikan atau belum, maka hukum yang berlaku adalah apa yang diyakini. Demikian itulah kaidah yang agung, yakni tetap berpedoman pada keadaan yang diketahui dan mengesampingkan keraguan. (Ensiklopedi Shalat, I/24)
Demikianlah saudariku, sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa memperhatikan kesempurnaan ibadah, jangan sampai kita menyepelekan hal-hal yang terlihat kecil namun besar artinya bagi kesempurnaan ibadah kita. Semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menyempurnakan peribadatan kepada-Nya.
Selengkapnya...

Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (3): Madzi dan Wadi, Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan, dan Air Liur Anjing

Madzi dan Wadi
Madzi adalah cairan bening, halus dan lengket yang keluar ketika adanya dorongan syahwat, seperti bercumbu, mengingat jima’ (persetubuhan) atau menginginkannya. Keluarnya madzi tidak memancar dan tidak diakhiri dengan rasa lemas atau kendornya syahwat, bahkan terkadang seseorang tidak merasakan keluarnya madzi. Air ini terjadi pada kaum lelaki maupun kaum wanita, akan tetapi lebih sering pada kaum wanita. Air tersebut adalah najis berdasarkan kesepakatan ulama.
Sedangkan wadi adalah cairan berwarna putih dan kental, biasanya keluar setelah buang air kecil. Air tersebut najis berdasarkan ijma’. (Al-Wajiz, hal. 58; Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/25; Ensiklopedi Shalat, I/19; Fiqhus Sunnah, I/48)

Cara membersihkan madzi dan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, berdasarkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang menyuruh Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu ‘anhu untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal dirinya yang sering mengeluarkan madzi, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يغـسل ذكره ويتـوضأ
“(Hendaklah) dia mencuci kemaluannya dan berwudhu’.” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 269), dalam Fat-hul Baari (I/230 no. 132) dan Muslim (no. 303))
Dan apabila air madzi mengenai pakaian, maka cukup dibersihkan dengan menyiramkan air setelapak tangan ke pakaian yang terkena madzi tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai madzi yang mengenai pakaiannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
يكفيك أن تأخذ كفا من ماء فتـنضح به ثو بك حيث ترى أنه قد أصاب منه
“Cukuplah bagimu mengambil air satu telapak tangan, lalu tuangkanlah ke pakaianmu (yang terkena madzi) sampai engkau lihat air tersebut mengenainya (membasahinya).” (Hasan, riwayat Abu Dawud (no. 215), Tirmidzi (no. 115) dan Ibnu Majah (no. 506))
*Catatan:
Mani adalah cairan yang keluar dari kemaluan yang disertai dengan rasa nikmat. Dan keluarnya cairan ini menyebabkan seseorang wajib mandi janabat. Sebagian orang menganggap mani itu najis, akan tetapi menurut pendapat yang kuat hukum mani tidaklah najis. (Lihat Ensiklopedi Shalat, I/19-20; Fiqhus Sunnah, I/49-50)
Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan
Kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan adalah najis, hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أراد النبي صلى الله عليه وسلم أن يتبرز. فقال: ائتني بثلاثة أحجار. فو جدت حجرين وروثة فأمسك الحجرين وطرح الروثة, وقال: هي رجس
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang air besar, lalu beliau berkata, ‘Bawakan untukku tiga batu!’ Kemudian kudapati untuk beliau dua batu dan satu kotoran. Beliau mengambil dua batu dan melemparkan kotoran, lalu bersabda, ‘Ia kotor lagi keji (najis).’” (Shahih, riwayat Bukhari Shahih-nya(no. 156), Ibnu Majah dalam Shahih-nya (no. 253), Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (I/39 no. 70), an-Nasa’i (I/39), Tirmidzi (I/13))
Kata رِجْسٌ bermakna najis.
Dan cara membersihkannya sama dengan membersihkan kotoran manusia (point A).
Air Liur Anjing
Air liur anjing adalah najis. Adapun seluruh tubuh dan bulunya, kecuali mulutnya, pada dasarnya adalah suci. (Ensiklopedi Fiqh Wanita, I/26-27)
Untuk membersihkan air liur anjing yang mengenai benda, maka bisa dilakukan dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan cucian pertama dicampur dengan tanah. Jika yang dikenai adalah makanan, maka hendaklah membuang bagian yang terkena air liur tersebut dan yang disekelilingnya, sedang sisanya masih dianggap suci. (Fiqhus Sunnah, I/55)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طهـور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولا هن بالتراب
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilati anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, dan yang pertama kali dicampur dengan tanah.” (Shahih, riwayat Muslim (no. 279). Lihat juga Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3933))
Selengkapnya...

Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (2): Darah Haidh dan Nifas

Kedua hal ini telah sangat dikenal oleh kaum perempuan, dimana kita biasa menjumpai keduanya, dan tidak diragukan lagi bahwa darah haidh dan nifas terhukumi sebagai najis. Cara mensucikan darah haidh dan nifas adalah dengan membasuhnya dan mengusapnya dengan air hingga bekas darah tersebut hilang.

Berkenaan dengan darah haidh yang terkena pakaian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tata cara menyucikannya,
تحته ثم تقر صه بالماء وتنضحه وتصلي قيه
“Menyikat, lalu menguceknya dengan air kemudian menyiramnya, dan baru setelah itu boleh mengerjakan shalat dengan mengenakan (pakaian tersebut).” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 227) dan Muslim (no. 240 dan 291))
Adapun jika setelah dicuci dan digosok dengan air dan sabun, darahnya masih membekas maka hal ini tidak menjadi masalah, berdasarkan riwayat berikut,
عن أبي هريره رضي الله عنه, أن خولة بنت يسار قالت, يا رسول الله ليس لي إلا ثوب واحـد وأنا أحيض فيه؟ قال فإذا طهرت فاغسلى موضع الـدم ثم صلي فيه, فقالت يا رسول الله إن لم يخرج أثر؟ قال, يكفـيــك الماء ولا يضرك أثره.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Khaulah binti Yasar berkata, ‘Ya Rasulullah, aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut.’
Maka Rasulullah menjawab, ‘Apabila kamu telah suci, maka cucilah yang terkena haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.’
Ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa hilang?’
Rasulullah menjawab, ‘Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tidak membahayakan (shalat)mu.’” (Shahih, riwayat Abu Dawud dalam Shahih-nya (no. 351) dan ‘Aunul Ma’bud (II/26 no. 361), al-Baihaqi (II/408))
*Catatan:
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum darah manusia selain darah haidh dan darah nifas, serta hukum darah binatang yang dagingnya halal untuk dimakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa darah secara umum yang keluar dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya untuk dimakan, adalah termasuk dalam kategori najis. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa darah hukum asalnya adalah suci, dia menjadi haram apabila dimakan, dan tidak dihukumi sebagai najis.
Salah satu ulama yang berpendapat darah termasuk najis adalah Sayyid Sabiq, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Fiqhus Sunnah (I/45-46), yakni darah yang mengalir dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya terhukumi sebagai najis, kecuali darah yang sedikit.
Namun, Syaikh Albani telah memberi komentar dan penjelasan dalam kitabnya Tamaamul Minnah (hal. 49-52) berkaitan dengan masalah ini. Syaikh Albani mengatakan bahwa tidak bisa menyamakan hukum darah haidh dengan darah manusia yang lain (selain darah haidh dan nifas) dan darah binatang yang halal dimakan, karena tidak ada dalil dari as-sunnah ash-shahihah, terlebih dari al-Qur’an yang mendukung pernyataan ini. Karena hukum asal darah adalah suci, kecuali ada bukti tekstual yang menyatakan kenajisannya. Dan pernyataan ini juga menyelisihi ketetapan sunnah. Meskipun ada referensi dari beberapa ahli hukum terdahulu dalam membedakan antara darah yang sedikit maupun banyak, namun tidak ada dalilnya dari sunnah, bahkan disebutkan juga dalam sebuah riwayat bahwa Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah dilempari panah oleh orang musyrik ketika sedang shalat di malam hari. Lalu ia mencabutnya, tetapi ia dipanah lagi hingga tiga kali. Ia melanjutkan shalatnya dalam keadaan bercucuran darah. (Hadits marfu’, sebagaimana ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud (no.193))
Juga Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya, kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. (Riwayat Abdurrazaq dalam Mushannaf (I/125), Ibnu Abi Syaibah (I/392), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX/284) dengan sanad yang shahih)
Syaikh Albani mengatakan, seandainya keluarnya darah yang banyak itu membatalkan shalat pasti Nabi menjelaskannya. Dan seandainya hal ini tersembunyi dari Nabi (yakni tidak diketahui Nabi), pasti Allah mengetahuinya. Maka, jika darah itu membatalkan shalat atau bersifat najis, pasti Allah mewahyukan hal tersebut kepada Nabi. [Lihat juga Fat-hul Baari (I/225)]
Namun demikian, kita harus tetap mengembalikan masalah ini kepada dalil-dalil yang shahih. Dan pendapat yang paling dekat dengan dalil yang shahih, maka itulah yang paling benar. Wallahu a’lam.
Selengkapnya...

Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkannya (1): Air Kencing dan Kotoran Manusia

Menyucikan kedua najis tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:
Najis berupa air kencing bayi/anak laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan selain ASI, cara membersihkannya adalah dengan memerciki air pada tempat yang terkena air kencing bayi/anak laki-laki tanpa harus dibasuh dan diperas dengan tangan. Adapun jika anak tersebut sudah mengkonsumsi makanan lain disamping ASI, maka bagian yang terkena air kencingnya harus dicuci. Sementara untuk anak perempuan, maka kewajibannya adalah mencuci bagian yang terkena air kencingnya, baik dia belum mengkonsumsi makanan ataupun sudah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بول الغلام ينضح وبول الجار يه يغسل. (وهذا ما لم يطعما فإذا طعما غسلا جميعا
“Kencing anak laki-laki itu dengan diperciki, sedangkan kencing anak perempuan dengan dicuci. (Hal ini dilakukan selama keduanya belum mengkonsumsi makanan. Adapun bila sudah mengkonsumsi makanan, maka harus dibasuh kedua-duanya).” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Al-Musnad (I/76), Abu Dawud (no. 377), Tirmidzi (no. 610), Ibnu Majah (no. 525). Adapun lafazh di dalam kurung merupakan riwayat Abu Dawud (no.378))
Najis yang mengenai bagian bawah sandal/sepatu, cara membersihkannya adalah dengan mengusap-usapkannya ke tanah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا وطئ أحدكم بنعله الأذى فإن التراب له طهور
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, sesungguhnya tanah itu dapat menyucikannya.” (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 383) dan Tirmidzi (no. 143))
Najis yang menempel pada ujung pakaian wanita akan disucikan oleh tanah yang berikutnya, sebagaimana keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يطهره ما بعده
“Ia (ujung pakaian wanita) disucikan oleh tanah sesudahnya.” (Shahih, riwayat Ibnu Majah dalam Shahih-nya (no. 430), Malik dalam Muwaththa’ (no. 44), Abu Dawud dalam ‘Aunul Ma’bud (II/44 no. 379), Tirmidzi (no. 143))
Najis yang mengenai lantai atau karpet, cara membersihkannya adalah dengan membuang kotorannya kemudian bekasnya disiram dengan air hingga bersih. Sedangkan untuk najis berupa air kencing, maka cukup dengan memperbanyak siraman air kepada bagian yang terkena najis tersebut. Sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat ketika ada seorang arab badui yang kencing di dalam masjid,
دعوه وهريقوا على بوله سجلا من ماء أو ذنوبا من ماء فإنما بعثتـم ميسرين ولم تبعثوا معسرين
“Biarkanlah orang itu, dan siramkanlah satu timba air atau satu ember air pada bagian yang terkena kencingnya karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberikan kesulitan.” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 220) dan Muslim (no. 284))
Istinja’ atau istijmar juga dapat membersihkan kedua najis (air kencing dan kotoran manusia) tersebut. Istinja’ adalah bersuci dengan menggunakan air, dan istijmar adalah bersuci dengan menggunakan benda padat, seperti batu, tissue, sapu tangan, kayu, dan semacamnya. Istinja’ terdapat tiga tingkatan, yaitu:
1. Istinja’ dengan batu kemudian istinja’ dengan air. Tingkatan ini paling sempurna tanpa adanya kesulitan dan madharat.
2. Istinja’ dengan air saja.
3. Istinja’ dengan batu saja (istijmar), dan harus dilakukan dengan tiga batu, tidak boleh kurang. Yang lebih afdhal adalah jumlah ganjil jika batu-batu itu suci. (Ensiklopedi Shalat, I/46)
Selengkapnya...

Jumat, 28 Januari 2011

Mengenal Najis

Masalah najis erat kaitannya dengan masalah ibadah, karena setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah bersih dari segala najis. Dan kebersihan seorang muslim menjadi ketentuan penting dalam hal kesempurnaan pelaksanaan ibadah, baik yang fardhu’ maupun sunnah. Akan tetapi, tidak sedikit dari kaum muslim yang belum bisa membedakan antara kotoran yang terhukumi sebagai najis dengan kotoran yang tidak terhukumi sebagai najis. Dan najis yang berupa kotoran dalam bentuk zhahir (nyata) dengan najis yang tidak berbentuk zhahir (nyata) seperti kotoran. Oleh karena itu, artikel kali ini akan membahas tentang najis, macam-macamnya dan cara membersihkannya.

Mengenal Najis
Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi menyebutkan dalam kitabnya al-Wajiz (hal. 57), najaasaat adalah bentuk jama’ atau plural dari kata najaasah, yaitu segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang-orang yang bertabiat baik lagi selamat dan mereka menjaga diri darinya, mencuci pakaian yang terkena benda-benda najis tersebut.

Syaikh Sa’id Al-Qaththani menyebutkan definisi najis sebagai kotoran yang harus dibersihkan dan dicuci pada bagian yang terkena olehnya. (Ensiklopedi Shalat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, I/13)

Menurut istilah syar’i, benda najis adalah benda yang haram disentuh secara mutlak, kecuali jika dalam keadaan terpaksa, bukan karena benda tersebut haram atau kotor dan bukan pula karena benda tersebut berbahaya untuk badan dan akal.(Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, hal. 26)

Tidak Semua yang Haram dan Kotor itu Najis

Tidak semua yang haram itu najis. Contohnya, emas haram dipakai oleh kaum lelaki, tapi emas itu tidak najis. Dan juga tidak semua yang kotor itu najis, misalnya ingus dan ludah itu kotor, tapi tidak najis.

Pada asalnya, segala sesuatu adalah mubah dan suci, oleh karena itu untuk menghukumi najis atau tidaknya sesuatu, maka haruslah membawa dalil yang kuat. Maka, tidak boleh mengatakan najis untuk sesuatu kecuali dengan mengemukakan hujjah. Dan inilah pendapat yang kuat. (Al-Wajiiz, hal. 57 dan Ensiklopedi Tarjih, hal. 32)

Selengkapnya...

Selasa, 25 Januari 2011

Rahasia Angka2 Dalam Al qur'an

Kata-kata dalam Al-Qur’an, dengan sejumlah pengulangannya merupakan Mukjizat, jumlah kata-kata dalam Al-Qur’an yang menegaskan kata-kata yang lain ternyata jumlahnya sama dengan jumlah kata-kata Al-Qur’an yang menjadi lawan kata atau kebalikan dari kata-kata tersebut, atau diantara keduanya ada nisbah kontradiktif.



Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada ayat-ayat mulianya, makna-maknanya, prinsip-prinsip dan dasar-dasar keadilannya serta pengetahuan-pengetahuan gaibnya saja, melainkan juga termasuk jumlah-jumlah yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri, begitu juga pengulangan kata dan hurufnya, orang-orang yang melakukan ‘ulum’ Al-Qur’an sejak dulu sudah menyadarai adanya fenomena tersebut mempunyai maksud dan tujuan tertentu.

Para peneliti terdahulu sudah mencatat, bahwa surat-surat yang dibuka dengan huruf-huruf ‘muqaththa’ah’ berjumlah 29 surat, sementara jumlah huruf ‘hijaiyah’ Arab ditambah dengan huruf “Hamzah” juga berjumlah 29 huruf hal ini dengan sudut pandang bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.

DR. Abdul Razaq Naufal dalam bukunya berjudul ‘ Al’Ijaz Al’Adadiy Fi Al-Qur’an Al Karim” beliau menulis beberapa tema-tema tersebut terjadi keharmonisan diantara jumlah kata-kata Al-Qur’an dan berikut ini adalah sejumlah perhitungan yang benar-benar merupakan Mukjizat, dari jumlah kata dalam Al-Qur’an sebanyak 51.900, Jumlah Juz 30, Jumlah Surat 112, keanehan yang ada diantaranya sbb :

* Kata ‘Iblis” ( La’nat ALLAH ‘alaihi ) dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 11 kali, sementara “Isti’adzah” juga disebutkan 11 kali, Kata “ma’siyah” dan derivatnya disebutkan sebanyak 75 kali, sementara kata “Syukr” dan derivatnya juga disebutkan sebanyak 75 kali.
* Kata “al-dunya” disebutkan sebanyak 115 kali, begitu juga kata “al-akhirah” sebanyak 115 kali.
* Kata “Al-israf” disebutkan 23 kali, kata kebalikannya “al-sur’ah” sebanyak 23 kali.
* Kata “Malaikat” disebutkan 88 kali, kata kebalikannya ‘Al-syayathin” juga 88 kali.
* Kata “Al-sulthan disebutkan 37 kali, kata kebalikannya “Al-nifaq” juga 37 kali.
* Kata “Al-harb”(panas) sebanyak 4 kali, kebalikannya “ Al-harb” juga 4 kali.
* Kata “ Al-harb (perang) sebanyak 6 kali, kebalikannya “Al-husra” (tawanan) 6 kali.
* Kata “Al-hayat” (hidup” sebanyak 145 kali, kebalikannya “Al-maut” (mati) 145 kali.
* Kata “Qalu” (mereka mengatakan) sebanyak 332 kali, kebalikannya “Qul” ( katakanlah) sebanyak 332 kali.
* Kata “Al-sayyiat” yang menjadi kebalikan kata “Al-shahihat” masing-masing 180 kali.
* Kata “Al-rahbah” yang menjadi kebalikan kata “Al-ragbah” masing-masing 8 kali.
* Kata “Al-naf’u” yang menjadi kebalikan kata “Al-fasad” masing-masing 50 kali.
* Kata “Al-nas” yang menjadi kebalikan kata “Al-rusul” masing-masing 368 kali.
* Kata “Al-asbath” yang menjadi kebalikan kata “Al-awariyun” masing-masing 5 kali
* Kata “Al-jahr” yang menjadi kebalikan kata “Al-alaniyyah” masing-masing 16 kali
* Kata “Al-jaza” 117 kali ( sama dg kebalikannya),
* Kata “Al-magfiroh” 234 kali ( sama dengan kebalikannya),
* Kata “Ad-dhalala” ( kesesatan) 191 kali ( sama dengan kebalikannya),
* Kata “Al-ayat” 2 kali “Ad-dhalala” yaitu 282 kali. Dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini.
* Kata “Yaum” (hari) dalam bentuk tunggal disebutkan sebanyak 365 kali, sebanyak jumlah hari pada tahun Syamsyiyyah.
* Kata “Syahr” ( bulan) sebanyak 12 kali, sama dg jumlah Bulan dalam satu Tahun.
* Kata “Yaum” (hari) dalam bentuk plural (jamak) sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam satu Bulan.
* Kata “Sab’u” (minggu) disebutkan 7 kali, sama dengan jumlah hari dalam satu minggu.
* Jumlah “ saah” (jam) yang didahului dengan ‘harf’ sebanyak 24 kali, sama dengan jumlah jam dalam satu hari.
* Kata “Sujud” disebutkan 34 kali, sama dengan jumlah raka’at dalam solat 5 waktu
* Kata “Shalawat” disebutkan 5 kali, sama dengan jumlah solat wajib sehari semalam.
* Kata “Aqimu” yang diikuti kata “Shalat” sebanyak 17 kali, sama dengan jumlah Raka’at Sholat fardhu/ wajib.
Selengkapnya...

Iman Kepada Allah dan Malaikat

Sifat Allah itu terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang wajib bagi Allah, mustahil bagi Allah, dan jaiz bagi Allah. Secara singkat sebagai berikut:

Sifat yang wajib dan mustahil bagi Allah masing-masing 20 yang saling berlawanan:

1. Ada (wujud) lawnnya tidak ada (’adam)
2. Dahulu (qidam) lawannya baru (huduts)
3. Kekal (baqa’) lawannya berubah-ubah (fana’)
4. Tidak menyerupai sesuatu (mukhalafatu lil hawaditsi) lawannya menyerupai sesuatu (almumatsalatu lil hawaditsi)
5. Berdiri sendiri (qiyamuhu binafsihi) lawannya berhajat kepada yang lain (al-ihtiyaju lighairihi)
6. Esa (wahdaniyat) lawannya berbilang (wujudusy syarik)
7. Kuasa (qudrat) lawannya tdak kuasa (’ajz)
8. Berkehendak (iradah) lawannya terpaksa (karahah)
9. Mengetahui (’ilm) lawannya bodoh (jahl)
10. Hidup (hayat) lawannya mati (maut)
11. Mendengar (sama’) lawannya tuli (shamam)
12. Melihat (bashar) lawannya buta (’umyu)
13. Berbicara (kalam) lawannya bisu (bukm)
14. Yang Berkuasa (qadiran) lawnanya Yang tidak berkuasa (’ajizan)
15. Yang Berkemauan (muridan) lawannya Yang Terpaksa (mukrahan)
16. Yang berpengatahuan (’aliman) lawannya Yang Bodoh (jahilan)
17. Yang Hidup (hayyan) lawannya Yang Mati (mayyitan)
18. Yang Mendengar (sami’an) lawannya. Yang Tuli (ashamm)
19. Yang Melihat (basyiran) lawannya Yang Buta (a’ma)
20. Yang Berbicara (mutakalliman) lawannya Yang Bisu (abkam)



Adapun Sifat Jaiz Bagi Allah SWT adalah bahwa Allah berbuat apa yang dikehendaki, seperti dalam Al-Qur’an disebutkan :

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَايَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Tuhanmu menjadikan dan memilih barang siapa apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 68)

Allah menjadikan alam ini bukanlah suatu keharusan. Apabila menjadi suatu keharusan, berarti semuanya hawadits, itu tidak mungkin terjadi namanya. Apabila Allah menghendaki, maka terjadilah barang itu berwujud, dan apabila Allah tidak menghendaki, maka tidak pula terwujud.

Dari keterangan itu semuanya, ternyata Allah membuat atau tidak membuat segala sesuatu yang mungkin ini, hanyalah kemungkinan belaka. Sifat membuat alam ini atau tidak membuatnya adalah sifat jaiz bagi Allah. Artinya hal itu bias saja boleh terjadi atau tidak terjadi. Apabila dikehendaki, maka hal itu diadakanlah dan terjadi, dan apabila tidak dikehendaki, tidak diadakan dan tidak terjadi.

Iman kepada Malaikat Allah

Malaikat itu tidak sama dengan manusia di dalam sifat-sifat dan pekerjaannya: bukan laki-laki dan bukan perempuan; tidak makan dan tidak pula minum; dan dalam keadaan biasa tidak dapat dilihat dengan mata kepala, malaikat-malaikat itu sebangsa Ruh saja. Kita tidak diwajibkan mengetahui hakekat dzat malaikat itu. Cukuplah kita mempercayai saja akan keberadaannya, dengan sifat-sifat yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Para Nabi dan Rasul, dapat mencapai malaikat pembawa wahyu yang terkadang menjelma sebagai manusia dengan kehendak Allah, dan terkadang pun tidak bertubuh seperti manusia. Keterangan-keterangan tentang Malaikat dan sifat-sifatnya itu di dalam Al-Qur’an banyak sekali. Di antaranya ialah :

نَزَلَ بِهِ الُّروْحُ اْلأَمِيْنُ عَلىَ قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ اْلمُنْذَرِيْنَ

“Turunlah Ar-Ruhul Amin (Jibril) dengan membawa Al-Wur’an di hatimu, supaya engkau menjadi salah seorang dari pada orang-orang yang memberikan peringatan”. (asy-Syu’ara’: 193-194)

مَايَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

”Tidak sesuatu perkataan yang dikatakan; melainkan mesti ada malaikat yang mengawasi dan meneliti”. (Qaaf : 18)

قُلْ يَتَوَفَّكُمْ مَلَكُ اْلمَوْتِ الَّذِى وُكِلَ بِكُمْ ثُمَّ اِلَى رَبِكُمْ تُرْجَعُوْنَ

“Katakanlah kamu akan dinantikan oleh malaikat maut yang diwajibkan (mencabut) segala nyawa kamu; kemudian kepada Tuhanmu ingatlah kamu dikembalikan”. (As-Sajadah: 11)


Bilangan Malaikat itu banyak sekali, dan hanya diketahui oleh Allah sendiri. Masing-masing nama dan pekerjaan sendiri-sendiri. Dan nama-nama itulah yang dihubungkan dengan pekerjaannya. Pekerjaannya yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dalam keterangan para Rasul ada banyak sekali di antaranya sebagai berikut :

1. Membawa wahyu dari hadirat Ilahi, kepada para Nabi dan Rasul. Dinamakan Ar-Ruhul-Amin atau Jibril atau Ar-Ruhul-Qudus.
2. Membawa rezeki kepada semua makhluq dinamakan Mikail.
3. Meniup sangkakala (trompet) di hari kemudian, dinamakan Israfil.
5. Mencabut nyawa dari tubuh makhluq dinamakan Izrail.
5 & 6. Mengawasi dan meneliti pekerjaan manusia, dinamakan Rakib dan Atid.
7 & 8. Menanyai tiap-tiap orang dalam kubur dinamakan Mungkar dan Nakir.
9. Menjaga neraka dinamakan Malik atau Zabaniyah
10. Menjaga surga dinamakan Ridwan
Selengkapnya...

Senin, 24 Januari 2011

BAGELEN, POTRET SEBUAH AKULTURASI ISLAM-JAWA

Akhir abad ke-15, melalui Walisongo, Islam semakin menyebar luas di Jawa. Namun, ada satu wilayah yang saat itu masih hutan belantara, mayoritas penduduknya masih belum beragama Islam. Daerah itu bernama Bagelen, yang pada saat itu meliputi wilayah Purworejo, Kebumen, sebagian Wonosobo, dan Kutoarjo.

Datanglah Sunan Kalijaga ke wilayah itu. Saat masuk ke Bagelen, ia konon bertemu tukang nderes atau pencari nira kelapa yang bernama Cakrajaya. Kagum dengan tingginya ilmu Sunan Kalijaga, Cakrajaya bermaksud berguru.

Sunan Kalijaga menyuruh Cakrajaya bersamadi di dekat Sungai Bagawanta, lalu meninggalkannya sendiri. Setahun kemudian, ia bersama muridnya datang ke dekat sungai tempat Cakrajaya bertapa. Namun, di tempat itu tak terlihat apa-apa, kecuali rerumputan liar. Sunan Kalijaga menyuruh muridnya membakar rerumputan liar itu.



Ternyata, Cakrajaya yang tak lain keturunan Nyai Ratu Bagelen masih bertapa di tempatnya semula. Namun karena tempatnya dibakar, punggung Cakrajaya gosong. Sejak saat itulah, Cakrajaya yang dikenal memiliki ilmu agama yang teguh disebut dengan Sunan Geseng (dari kata gosong).

Melalui Sunan Geseng inilah dakwah agama Islam di Kadipaten Bagelen berkembang. Sebagai murid Sunan Kalijaga, gaya dakwah Sunan Geseng pun tak berbeda dengan metode gurunya, yakni mengakomodasi ajaran Syiwa-Buddha dalam Islam. Terjadilah akulturasi. Akulturasi ini menghasilkan komunitas Islam-Kejawen yang kuat di Bagelen. Komunitas ini masih bertahan hingga kini.

“Di Bagelen, yang termasuk sekarang di Purworejo, banyak penganut Kejawen. Tetapi, mereka beragama Islam. Adat dan tata cara Jawa, seperti menjamas pusaka, menghormati pepunden, dan kepercayaan akan sengkala Jawa masih dipertahankan, meski mereka itu shalat,” ujar Oteng Suherman, pakar Sejarah Purworejo yang lama mendalami Komunitas Bagelen.

Perpaduan Islam-Jawa ini menjadikan masyarakat Bagelen memiliki karakter khas. Sejak dulu warga Bagelen dikenal pemberani, jujur, setia, dan berjiwa besar. Tak ayal bila Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama), banyak merekrut orang Bagelen untuk perang melawan adipati di Jawa Timur yang menolak tunduk.

Pada zaman kolonial Belanda, Bagelen adalah medan tempur Pangeran Diponegoro. Banyak prajurit Diponegoro dari Bagelen. Bahkan, di sini pulalah tentara Belanda banyak yang terbunuh.

Syiwa-Buddha

Menurut Oteng, dakwah Sunan Geseng di Bagelen dengan mengakomodasi kepercayaan Syiwa-Buddha bukan tanpa alasan. Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah.

Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama Hindu-Syiwa.

Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Demikian pula dengan Raden Caranggasing dari Jenggala.

Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini.

Urat nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempat begawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora.

Dengan latar belakang semacam itu, tak ada pilihan lain bagi Sunan Kalijaga maupun Sunan Geseng untuk tidak mengakomodasi nilai Syiwa-Buddha. Apalagi dalam beberapa hal ajaran Islam dan Syiwa- Buddha juga memiliki kesamaan.

Memang, karakter khas warga Bagelen kini tak sekental dimasa lalu. Bahkan, secara geografis pun wilayah Bagelen mengerdil. Bila dulu pada masa sebelum tahun 1830 wilayahnya meliputi Berangkal (kini Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur (Wonosobo bagian selatan), tetapi setelah tahun 1830 Bagelen tinggal wilayah seluas empat kecamatan disebelah timur Purworejo.

Pengerdilan wilayah Bagelen ini tak terlepas dari upaya Belanda menghentikan perlawanan sisa pengikut Pangeran Diponegoro di wilayah ini.

Masih tampak

Namun demikian, tradisi Islam-Jawa dalam banyak hal masih tampak. Legimin (66), sesepuh Desa Bagelen, Sabtu (28/1), mengatakan, setiap Jumat Kliwon, Selasa Kliwon, dan Kamis Wage, warga Bagelen mengadakan ritual sesaji kepada leluhur. Biasanya mereka mengunjungi petilasan Nyai Ageng Bagelen di Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo.

“Mereka yang ke petilasan itu tidak hanya yang Kejawen, tetapi juga yang beragama Islam, bahkan Nasrani. Mereka menghormati Nyai Ageng Bagelen sebagai leluhur. Dan, meminta kepada Allah supaya Bagelen selamat dan sejahtera,” tuturnya.

Pada bulan Sura ini, warga Bagelen, baik yang beragama Islam atau penganut Kejawen, melakukan jamasan pusaka. Mereka juga mengunjungi petilasan pepunden, seperti petilasan Nyai Ageng Bagelen, Banyu Urip, petilasan Sunan Geseng dan pepunden yang lain.

Memang, tradisi Islam-Kejawen di Bagelen kini kian tergerus modernitas yang memasuki relung kehidupan di wilayah ini.

Selengkapnya...

Walisongo dan Pembentukan Mistisisme Islam Jawa

Diskursus sejarah masuknya Islam di Jawa dan cara penyebarannya menurut pendapat yang paling dominan mengatakan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan seperti diungkapkan oleh sejarawan asal Belanda Wertheim dan Pijnapel.
Namun demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Islam tersebar di Jawa dilakukan oleh para dai sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Faktor keberhasilan dai sufi dalam
berdakwah adalah kemampuan dai sufi untuk mengakomodasi ‘keyakinan lokal’ yang kemudian mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam. Untuk menguji teori ini, Jhon melakukan studi literature lokal yang memiliki keterkaitan dengan para pengembara sufi yang diyakini oleh penduduk lokal Nusantara pada zaman pra-Islam.



Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘ zaman kewalen” (zaman wali). Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain, kecuali budaya Hindu-Budha. Di Jawa Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan
unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas. Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru
yang berpusat di pesantren. Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan ( equality)
menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengaharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi ( counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam
Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “ kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “ kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa ‘ sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam. Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dengan dua pendekatan yang nonkompromis dan kompromis. Pendekatan nonkompromis adalah dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam. Pendekatan kompromis (akomodatif) adalah pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing ( cultural approach).
Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latarbelakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi/budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang semakin lama semakin surut dan akhirnya runtuh. Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah geneologis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar geneologis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad.

Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (sejarah tanah jawa) sebagai berikut. Inilah sejarah kerajaan tanah jawa, mulai dengan nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru di sebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu). Dari kutipan naskah babad tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masayarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami. Pementasan wayang sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan
secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai takdir.

Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua, yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatanya pada ajaran-ajaran agama. Sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di jawa Tengah bagian selatan, misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh
kelompok abangan.

catatan penting : "saya harap tidak ada penafsiran yang salah dari postingan ini. Tulisan ini saya ambil tanpa perubahan apapun dari tulisan Bapak RIDWAN beliau adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN
Purwokerto. Bukunya yang cukup popular adalah: Membongkar Fiqh Negara (Yogyakarta: PSG
STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005)."
Selengkapnya...

Melihat Damai dari Islam Jawa

Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah. Ketidaksamaan itu kini tidak lagi memonopoli perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat bermuaranya berbagai macam budaya dan agama. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda. Begitulah Indonesia. Perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya. Sebut saja misalnya budaya Islam Jawa. Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog terkenal dunia sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyaraskat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya pikir Gertz memang benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah menyatakan, adanya objektifitas dalam hasil di peroleh. Yang kemungkinan bisa muncul adalah intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang mampu membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri. Keunikan Islam Jawa merunut pada tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak spiritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsur Islam maupun Jawa, terlihat ada rasa saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi sinergi. Contoh menarik adalah peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di daerah Sragen, Jawa Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat. Sejarah pasti budaya memohon berkah di tempat ini masih nampak kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsur ini begitu kental, bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan akar rumput yang dimilikinya. Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang menyelubungi makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pergantian tahun baru Jawa maupun Islam yang memang diperingati berbarengan. Pergantian selambu makam ini menjadi menarik karena serangkaian ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah selambu yang menyelubungi makam selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk Kedung Ombo. Di waduk yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu lambang penyucian diri seperti halnya tubuh manusia yang perlu dibersihkan. Ketika selambu telah selesai dibasahi dengan air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali ke komplek makam. Biasanya para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut tetesan air selambu yang baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan untuk mengusap wajah atau bagian tubuh lainnya. Ketika sampai kembali di komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang berasal dari tujuh mata air di sekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini ditempatkan di tujuhtong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi tempat pembilasan selambu. Acara diakhiri dengan doa yang bernafaskan Islam, di sinilah bentuk akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan Islam diisi dengan doa-doa Hindu atau Budha, setelah Islam datang diganti dengan doa-doa yang bersumber dari kitab suci Islam, Al-Quran. Menarik Bukan? Ada nuansa kedamaian yang dapat dalam praktik ritual mereka, bahwa dalam perbedaan ada titik-titik yang dapat disatukan. Satu hal yang mungkin bisa diterapkan di bidang-bidang selain budaya. Membumikan kedamaian di antara kita, yang kian hari kian terasa semakin luntur.


Lebih lanjut tentang: Melihat Damai dari Islam Jawa
Selengkapnya...

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim


Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.


Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Azhamat Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Penyebaran agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya. Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Pertam-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.]
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim
Selengkapnya...

Jumat, 21 Januari 2011

Keutamaan malam Jum’at dan hari Jum’at

Malam Jum’at adalah malam yang paling utama, harinya adalah hari yang paling utama dari semua hari.

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya malam Jum’at dan harinya adalah 24 jam milik Allah Azza wa Jalla. Setiap jamnya ada enam ratus ribu orang yang diselamatkan dari api neraka.”

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang mati di antara matahari tergelincir hari Kamis hingga matahari tergelincir hari Jum’at, Allah melindunginya dari siksa kubur yang menakutkan.”

Imam ja’far Ash-Shadiq (sa) juga berkata: “Malam Jum’at dan hari Jum’at mempunyai hak, maka janganlah sia-siakan kemuliaannya, jangan mengurangi ibadah, dekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal shaleh, tinggalkan semua yang haram. Karena di dalamnya Allah swt melipatgandakan kebaikan, menghapus kejelekan, dan mengangkat derajat. Hari Jum’at sama dengan malamnya. Jika kamu mampu, hidupkan malam dan siangnya dengan doa dan shalat. Karena di dalamnya Allah mengutus para Malaikat ke langit dunia untuk melipatgandakan kebaikan dan menghapus keburukan, sesungguhnya Allah Maha Luas ampunan-Nya dan Maha Mulia.”

Dalam hadis yang mu’tabar, Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya orang mukmin yang memohon hajatnya kepada Allah, Ia menunda hajat yang dimohonnya hingga hari Jum’at agar ia memperoleh keutamaan yang khusus (dilipatgandakan karena keutamaan hari Jum’at).”

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Ketika saudara Yusus meminta kepada Ya’qub agar ia memohonkan ampunan untuk mereka, ia berkata, Tuhanku akan mengampunimu. Kemudian ia mengakhirkan istighfarnya hingga dini hari Jum’at agar permohonannya diijabah.”

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika malam Jum’at tiba semua binatang laut dan binatang darat mengangkat kepalanya seraya memanggil dengan bahasanya masing-masing: Wahai Tuhan kami, jangan siksa kami karena dosa-dosa anak cucu Adam.”

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Allah swt memerintahkan kepada Malaikat agar pada setiap malam Jum’at ia menyeru dari bawah Arasy dari awal malam hingga akhir malam: Tidak ada seorang pun hamba mukmin yang berdoa kepada-Ku untuk keperluan akhirat dan dunianya sebelum terbit fajar kecuali Aku mengijabahnya, tidak ada seorang pun mukmin yang bertaubat kepada-Ku dari dosa-dosanya sebelum terbit fajar kecuali Aku menerima taubatnya, tidak ada seorang pun mukmin yang sedikit rizkinya lalu ia memohon kepada-Ku tambahan rizkinya sebelum terbit fajar kecuali Aku menambah dan meluaskan rizkinya, tidak ada seorang pun hamba mukmin yang sedang sakit lalu ia memohon kepada-Ku untuk kesembuhannya sebelum terbit fajar kecuali Aku memberikan kesembuhan, tidak ada seorang hamba mukmin yang sedang kesulitan dan menderita lalu ia memohon kepada-Ku agar dihilangkan kesulitannya sebelum terbit fajar kecuali Aku menghilangkannya dan menunjukkan jalannya, tidak ada seorang pun hamba yang sedang dizalimi lalu ia memohon kepada-Ku agar Aku mengambil kezalimannya sebelum terbit fajar kecuali Aku menolongnya dan mengambil kezalimannya; Malaikat terus-menerus berseru hingga terbit fajar.”

Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Sesungguhnya Allah swt memilih Jum’at, lalu menjadikan harinya sebagai hari raya, dan memilih malamnya menjadi malam hari raya. Di antara keutamaannya adalah orang yang momohon hajatnya kepada Allah Azza wa Jalla pada hari Jum’at Allah mengijabahnya; suatu bangsa yang sudah layak menerima azab lalu mereka memohon pada malam dan hari Jum’at Allah pasti menyelamatkan mereka darinya. Tidak ada sesuatu pun yang Allah tentukan dan utamakan kecuali Ia menentukannya pada malam Jum’at. Karena itu, malam Jum’at adalah malam yang paling utama, dan harinya adalah hari yang paling utama.”

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: ” Jauhilah maksiat pada malam Jum’at, karena pada malam itu keburukan dilipatgandakan dan kebaikan dilipatgandakan. Baransiapa yang meninggalkan maksiat kepada Allah pada malam Jum’at Allah mengampuni semua dosa yang lalu, dan barangsiapa yang menampakkan kemaksiatan kepada Allah pada malam Jum’at Allah menyiksanya dengan semua amal yang ia lakukan sepanjang umurnya dan melipatgandakan siksa padanya akibat maksiat itu.”

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya hari Jum’at adalah penghulu semua hari, di dalamnya Allah azza wa jalla melipatgandakan kebaikan, menghapus keburukan, mengangkat derajat, mengijabah doa, menghilangkan duka, dan menunaikan hajat-hajat yang besar. Hari Jum’at adalah hari Allah menambah jumlah orang-orang yang dibebaskan dari neraka. Tidak ada seorang pun manusia yang memohon perlindungan di dalamnya dan ia mengenal hak-Nya serta yang diharamkan-Nya, kecuali Allah berhak membebaskan dan menyelamatkan ia dari neraka. Jika ia mati pada hari Jum’at atau malamnya, ia mati syahid dan membangkitkan dari kuburnya dalam keadaan aman.Tidak ada seorang pun yang meremehkan apa yang diharamkan oleh
Allah dan menyia-nyiakan hak-Nya, kecuali Allah berhak mencampakkannya ke dalam neraka Jahannam kecuali ia bertaubat.”

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Tidak ada terbit matahari yang lebih utama dari hari Jum’at, dan sesungguhnya pembicaraan burung pun jika ia berjumpa dengan yang lain pada hari ini, ia mengucapkan salam, salam kebaikan dan kedamaian.”

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika kalian memasuki hari Jum’at, maka janganlah kalian disibukkan oleh sesuatu selain ibadah, karena hari itu adalah hari pengampunan bagi hanba hamba Allah; pada hari Jum’at dan malam Jum’at Allah menurunkan kepada mereka rahmat dan karunia lebih banyak daripada mengambilnya dalam waktu yang singkat.”
(Fafâtihul Jinân, bab 1, pasal 4, halaman 28-38 )

Selengkapnya...

rahasia sholat 5 waktu


Ali bin Abi Talib r.a. berkata, Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Ansar, maka dengan tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi lalu berkata, 'Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepada kamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa A.S. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqarrab.'

Lalu Rasullullah SAW bersabda, 'Silahkan bertanya.'

Berkata orang Yahudi, 'Coba terangkan kepada kami tentang 5 waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu.'

Sabda Rasullullah saw, 'Shalat Zuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhannya. Shalat Asar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Shalat Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s. Maka setiap mukmin yang bershalat Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah akan mengkabulkan permintaannya. Shalat Isyak itu ialah shalat yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Shalat Subuh adalah sebelum terbit matahari. Ini kerana apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.'

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari Rasullullah saw, lalu mereka berkata, 'Memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan diperoleh oleh orang yang shalat.'

Rasullullah SAW bersabda, 'Jagalah waktu-waktu shalat terutama shalat yang pertengahan. Shalat Zuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya uap api neraka Jahanam pada hari Kiamat.'

Sabda Rasullullah saw lagi, 'Manakala shalat Asar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat Asar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.'

Selepas itu Rasullullah saw membaca ayat yang bermaksud, 'Jagalah waktu-waktu shalat terutama sekali shalat yang pertengahan. Shalat Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan shalat Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.'

Sabda Rasullullah saw, 'Shalat Isya’ (atamah). Katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitu juga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan shalat Isyak berjamaah, Allah S.W.T haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.'

Sabda Rasullullah saw seterusnya, 'Shalat Subuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan shalat Subuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah S.W.T dua kebebasan yaitu:
1. Dibebaskan daripada api neraka.
2. Dibebaskan dari nifaq.

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan daripada Rasullullah saw, maka mereka berkata, 'Memang benarlah apa yang kamu katakan itu wahai Muhammad (saw). Kini katakan pula kepada kami semua, kenapakah Allah S.W.T mewajibkan puasa 30 hari ke atas umatmu?'

Sabda Rasullullah saw, 'Ketika Nabi Adam memakan buah pohon khuldi yang dilarang, lalu makanan itu tersangkut dalam perut Nabi Adam a.s. selama 30 hari. Kemudian Allah S.W.T mewajibkan ke atas keturunan Adam a.s. berlapar selama 30 hari.

Sementara diizin makan di waktu malam itu adalah sebagai kurnia Allah S.W.T kepada makhluk-Nya.'

Kata orang Yahudi lagi, 'Wahai Muhammad, memang benarlah apa yang kamu katakan itu. Kini terangkan kepada kami mengenai ganjaran pahala yang diperolehi daripada berpuasa itu.'

Sabda Rasullullah saw, 'Seorang hamba yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dengan ikhlas kepada Allah S.W.T, dia akan diberikan oleh Allah S.W.T 7 perkara:


1. Akan dicairkan daging haram yang tumbuh dari badannya (daging yang tumbuh daripada makanan yang haram).
2. Rahmat Allah sentiasa dekat dengannya.
3. Diberi oleh Allah sebaik-baik amal.
4. Dijauhkan daripada merasa lapar dan dahaga.
5. Diringankan baginya siksa kubur (siksa yang amat mengerikan).
6. Diberikan cahaya oleh Allah S.W.T pada hari Kiamat untuk menyeberang Titian Sirath.
7. Allah S.W.T akan memberinya kemudian di syurga.'

Kata orang Yahudi, 'Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakan kepada kami kelebihanmu di antara semua para nabi.'

Sabda Rasullullah saw, 'Seorang nabi menggunakan doa mustajabnya untuk membinasakan umatnya, tetapi saya tetap menyimpankan doa saya (untuk saya gunakan memberi syafaat kepada umat saya di hari kiamat).'

Kata orang Yahudi, 'Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Kini kami mengakui dengan ucapan Asyhadu Alla illaha illallah, wa annaka Rasulullah (kami percaya bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan engkau utusan Allah).'

Sedikit peringatan untuk kita semua: Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Surah Al-Baqarah: ayat 155)

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Surah Al-Baqarah: ayat 286)

Selengkapnya...